Jakarta (MNC), Meski Ketua KPU terbukti melanggar Kode Etik karena menerima pencalonan Gibran namun sayangnya yang bersangkutan hanya diberi sanksi keras dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari diputuskan melanggar etik dalam menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka. Dimana Gibran mendaftar sebagai calon wakil presiden dibiarkan mengikuti tahapan pemilu meski aturan KPU belum diubah untuk batas usia minimal 40 tahun setelah MK mengeluarkan putusan MK nomor 90 Tahun 2023.
Seharusnya DKPP sebagai penyelenggara Pemilu memecat Hasyim. Dia sudah tiga kali kena sanksi berat, sehingga kali DKPP mengeluarkan peringatan keras terakhir.
"Ketua KPU layak dipecat karena tiga kali terbukti melanggar Kode Etik. Hasyim dan anggota KPU lainnya Betty Epsilon Idroos, Mochammad Affifudin, Persadaan Harahap, Yulianto Sudrajat, Idham Holik, dan August Mellaz, diadukan oleh Demas Brian Wicaksono dengan perkara Nomor 135-PKE-DKPP/XII/2023.
Pengadu berikutnya adalah Iman Munandar B. (Nomor 136-PKE-DKPP/XII/2023), P.H. Hariyanto (Nomor 137-PKE-DKPP/XII/2023), dan Rumondang Damanik (Nomor 141-PKE-DKPP/XII/2023).
Hasyim dan komisioner KPU didalilkan telah menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal calon wakil presiden pada 25 Oktober 2023 tanpa dasar hukum yang lazim berlaku.
Sebelumnya, dalam keterangan tertulis DKPP, para pengadu menganggap itu tidak sesuai Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Sebab, para teradu belum merevisi atau mengubah peraturan terkait pasca adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023. Mereka menduga bahwa tindakan para Hasyim dan anggotanya membiarkan Gibran mengikuti tahapan pencalonan tidak sah dan melanggar hukum.
"Masih ada waktu bagi teradu untuk mengundurkan diri atau memilih dicopot dengan tidak hormat. Karena kesalahan dengan SP3 lazimnya sebagai kesalahan berat," ungkap pengamat hukum politik Suta Widhya.
Namun untuk apa dipecat? Yang benar paslon 02 didiskualifikasi saja. Karena putusan DKPP belum sepenuhnya benar terkait putusan melanggar kode etik. Seharusnya putusan DKPP mengatakan bahwa KPU telah melanggar hukum ( UU dan peraturan ).
Melanggar UU dan peraturan itu melanggar hukum. Seperti anda melanggar rambu lalu-lintas kan dihukum dengan tilang bukan melanggar etika berkendaraan.
DKPP mungkin bisa mencari jalan keluar atas putusan yang dikeluarkannya. Apakah dengan mengocok ulang personil KPU atau serahkan saja putusannya pada pemerintah.
Sementara kita tahu wewenang DKPP dalam Pasal 159 ayat (2), yaitu: Memanggil Penyelenggara Pemilu yang diduga melakukan pelanggaran kode etik untuk memberikan penjelasan dan pembelaan;
Memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak lain yang terkait untuk dimintai keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau bukti lain;
Memberikan sanksi kepada Penyelenggara Pemilu yang terbukti melanggar kode etik;
Memutus pelanggaran kode etik.
Seperti yang ada dimanapun berada, selama rezim berkuasa semua tidak berlaku lagi terbaikan semua dan semaunya. Inilah bukti rezim yang tidak menjunjung etika yang berlaku.
"Banyak pelanggaran tapi tidak ditindak seenaknya aja. Kasus terkecil saja, misalnya, jadwal lokasi Kampanye pemilu Senin (5/2) Cak Imin ke Pasuruan dirubah oleh KPU untuk 02 tempatnya. Sedang 01 entah dimana tidak jelas ganti tempatnya. Dan Bawaslu tidak berdaya untuk nenindak."Tutup Suta.