Diduga Tidak Profesional, Kuasa Hukum MS Minta Komisi Kejaksaan dan Komisi Yudisial Pantau Persidangan Kasus Narkoba

Notification

×

Tag Terpopuler

Diduga Tidak Profesional, Kuasa Hukum MS Minta Komisi Kejaksaan dan Komisi Yudisial Pantau Persidangan Kasus Narkoba

Sabtu, 08 Maret 2025 | Maret 08, 2025 WIB Last Updated 2025-03-08T12:12:19Z
Jakarta, Terdakwa MS  adalah pencandu narkoba bukan pengedar produsen atau penjual. Berdasarkan tes urin adalah POSITIF. Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) laboratoris kriminalistik  yang ditandatangani  oleh pemeriksa  bahwa barang bukti setelah diperiksa berupa satu bungkus plastik klip warna putih berat itu netto seluruhnya 1, 5699 gram tersebut adalah benar mengandung metamfetamina terdapat dalam golongan 1 nomor urut 61 lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika.

Bahwa ancaman hukum yang didakwa menggunakan Pasal 114 (1) jo Pasal 132 (1) UU Nomor 35 Tahun 2009 Republik Indonesia, hal tersebut tidak tepat karena pecandu narkoba adalah orang yang terganggu jiwanya. Sehingga lebih layak untuk direhabilitasi. Intinya, mohon agar dapatnya Majelis Hakim   mohon  untuk perlindungan Hukum Atas Tuntutan JPU Yang Tidak Akurat Terhadap Pecandu/Korban Narkoba.

Kuasa Hukum telah menyampaikan surat ke  Jaksa Agung RI pada tanggal 16  Desember  202484 /SWR / PDT/22/XI/2024 Perlindungan Hukum Atas Tuntutan   JPU yng  tidak akurat juga ke Komisi Yudisial dan Komisi Kejaksaan. 

Bahwa terhadap pecandu/korban Narkoba  diduga pemeriksaan tidak profesional, Kuasa Hukum MS minta komisi Kejaksaan dan Komisi Yudisial Untuk pantau persidangan perkara penyalahgunaan narkotika. 

Terdakwa MS  adalah pencandu narkoba bukan pengedar produsen atau penjual. Berdasarkan tes urin adalah POSITIF. Berdasarkan Berita Acara pemeriksaan laboratoris kriminalistik    yang ditandatangi  oleh  seluruhnya 1, 5699 gram 
 Bahwa ancaman hukum yang didakwa menggunakan Pasal 114 (1) jo Pasal 132 (1) UU Nomor 35 Tahun 2009 Republik Indonesia, hal tersebut tidak tepat karena pecandu narkoba adalah orang yang terganggu jiwanya. Sehingga lebih layak untuk direhabilitasi. Intinya, mohon agar dapatnya Majelis Hakim   mohon  untuk perlindungan Hukum Atas Tuntutan JPU Yang Tidak Akurat Terhadap Pecandu / Korban Narkoba.

Kuasa Hukum telah menyampaikan surat ke
  Jaksa Agung RI pada tanggal 16  Desember  2024 dengan Nomor 84 /SWR / PDT/22/XI/2024 perlindungan hukum atas tuntutan   JPU yang  tidak akurat terhadap pecandu/korban Narkoba  dan Komisi Yudisial RI   mohon  perlindungan hukum bahwa ancaman hukum yang didakwa menggunakan Pasal 114 (1) jo Pasal 132 (1) UU Nomor 35 Tahun 2009 Republik Indonesia. 

Menurut Suta, pasal tersebut tidak tepat karena pecandu narkoba adalah orang yang terrganggu jiwanya. Sehingga lebih layak untuk direhabilitasi. Intinya, mohon agar dapatnya  Pimpinan Jaksa Agung  Republik Indonesia   dan Komisi Yudisial RI   Atas Tuntutan JPU Yang Tidak Akurat Terhadap Pecandu / Korban Narkoba. 

Menurut Suta Widhya SH, selaku Kuasa Hukum telah  sampaikan bahwa penerapan terhadap Tuntutan JPU Pasal 114 dan Pasal 112 UU Nomor 35 Tahun 2009 atas perkara pada kliennya Sdr. MS karena tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya di lapangan.  

Menurut Suta, berdasarkan penilaiannya sebagai berikut:

Pertama, terdakwa  pencandu narkoba bukan pengedar, produsen atau penjual.

Kedua, barang bukti yang diperiksa berat itu netto seluruhnya 1, 5699 gram gram di Labaratorium yang akan dipakai. 

Ketiga,  menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Penempatan Penyalahgunaan Korban Penyalahgunaan dan Pecandu  Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial adalah untuk  pencandu Narkoba jenis sabu-sabu.

Keempat, memperhatikan Surat  Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2011  tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika di dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.  Dengan  Surat Edaran Nomor 04/ B 6/ HS/ SP/ VII / 2011  tanggal 29 Juli 2011. 

Kelima,  bahwa ancaman hukum yang didakwa menggunakan Pasal 114 (1) jo Pasal 132 (1) UU Nomor 35 Tahun 2009 Republik Indonesia, hal tersebut tidak tepat karena pecandu narkoba adalah orang yang terganggu jiwanya. Sehingga lebih layak untuk direhabilitasi.

 Intinya Suta mohon agar  Pimpinan di Kejaksaan Agung  Republik Indonesia   mohon  perlindungan Hukum Atas Tuntutan JPU yang tidak akurat terhadap pecandu/korban Narkoba. 

Keenam, perlindungan hukum atas tuntutan JPU bagi terdakwa tersebut merupakan _jurisdiction valuntaria_ yang berarti bukan peradilan yang sesungguhnya, karena pada perlindungan hukum  hanya ada pada  pemohon tidak ada lawan hukum. Di dalam perlindungan hukum,   Jaksa Agung  Republik Indonesia tidak menggunakan kata “mengadili”, namun cukup dengan menggunakan kata ”Perlindungan”.

Gagasan  Dr. ST. BURHANUDDIN, SH.,MH  menegaskan bahwa pihaknya mengharamkan kasus pengguna narkotika masuk ke pengadilan. Ia menegaskan, pihaknya selalu akan menerapkan keadilan restoratif ( _restorative justice_) untuk pengguna narkoba. “Untuk _restorative justice_ khususnya, haram bagi jaksa untuk melimpahkan ke pengadilan bagi pengguna (narkotika),” kata Jaksa Agung di Rupatama Mabes Polri, Kamis (4/12/2024).

Dalam  Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Jaksa Agung: Haram bagi Jaksa Limpahkan Kasus Pengguna Narkoba ke Pengadilan". Akan tetapi instruksi dari Jaksa Agung tidak pernah direspon oleh Para Jaksa maupun Hakim dalam menangani kasus pecandu narkoba.

Untuk itulah Kuasa Hukum menyampaikan surat tersebut  dengan maksud mohon agar  Jaksa Agung  Republik Indonesia dapat agar Terdakwa Sdr.MS  memperoleh rasa keadilan terhadap  terdakwa  tersebut yang sangat jelas sebagai pemakai atau pecandu dengan bukti test urine POSITIF sehingga perlu mendapatkan hak-nya untuk dikirim ke panti rehabilitasi yang ditunjuk oleh BNN Propinsi DKI Jakarta atau IPWL mohon agar tidak diproses secara hukum. 

Segala upaya telah kami tempuh agar para pencandu sebagai korban akan tetapi belum mendapatkan respon dan tanggapan dari Kejaksaan Agung maupun Komisi Yudisial Untuk  memantau Persidangan Perkara Penyalahgunaan Narkotika dan belum dimanfaatkan Tim yang ditunjuk sebagai personil penanganan Narkoba di institusi tersebut. 

Bahwa lembaga Kejaksaan Agung, Komisi Yudisial  dan Komisi Kejaksaan selaku pengawas dan pemantau lembaga peradilan di Pengadilan maupun  di Kejaksaan, sehingga berakibat tututannya Jaksa Penuntut Umum dan Vonis tanpa memperhatikan psikologis terdakwa . Pengadilan Negeri yang menangani kasus narkoba berjalan dengan penuh semangatnya baik para Majelis Hakim dan Jaksa Penunut Umum dan menerapkan dengan UU  Pasal 114 (1) jo Pasal 132 (1) UU Nomor 35 Tahun 2009 Republik Indonesia, hal tersebut tidak tepat karena pecandu narkoba adalah orang yang terganggu jiwanya.


Dari  diduga tidak Profesional, Kuasa Hukum MS Minta Komisi Kejaksaan dan Komisi Yudisial untuk memantau persidangan perkara penyalahgunaan narkotika.

"Kami ulangi, sampai saat ini belum diterapkan secara penuh di PN terhadap Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Penempatan Penyalahgunaan Korban Penyalahgunaan dan Pecandu  Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. adalah untuk  pendandu Narkoba jenis Shabu dan hal ini sepantasnya diperlakukan terhadap Terdakwa . DEmikian juga dengan Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2011  tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika di dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.  Dengan  Surat Edaran Nomor 04/ Bua 6/ HS/ SP/ VII / 2011  tanggal 29 Juli 2011. mohon  perlindungan Hukum Bahwa ancaman hukum yang didakwa menggunakan Pasal 114 (1) jo Pasal 132 (1) UU Nomor 35 Tahun 2009 Republik Indonesia, hal tersebut tidak tepat karena pecandu narkoba adalah orang yang terganggu jiwanya. Sehingga lebih layak untuk direhabilitasi. Intinya, mohon agar Pimpinan Jaksa Agung  Republik Indonesia   dan Komisi Yudisial RI   melakukan eksaminasi Tuntutan JPU Yang Tidak Akurat Terhadap Pecandu / Korban Narkoba.

(Suta Widya)